TUGAS
DEMOGRAFI SOSIAL
PERSELINGKUHAN
DAN PERCERAIAN
(SUATU KAJIAN
PERSEPSI WANITA)
Oleh :
Ardi Perdana S. (112020100028)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2012
PERSELINGKUHAN DAN PERCERAIAN
(SUATU KAJIAN PERSEPSI WANITA)
I.
Permasalahan
Di dalam
sebuah perkawinan, pasti selalu mendambakan kehidupan rumah tangga yang
harmonis dan berlangsung hingga salah satu diantara keduanya meninggal dunia.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pernikahan dapat bertahan.
Salah
satu faktor yang erat berkaitan dengan perkawinan adalah adanya perselingkuhan
yang dilakukan oleh pasangan. Meskipun perselingkuhan dianggap sebagai hal yang
melanggar norma dan nilai yang ada, tetapi hal tersebut masih sering saja terjadi.
Bila kita
melihat upacara pernikahan agama Hindu di Bali, perjanjian antara suami dan
istri disimbolkan dengan menghadapi bebanten
mabyakala dengan berjalan mengelilingi pesaksian
tiga kali searah jarum jam. Hal tersebut dilakukan sebagai janji pasangan suami
istri untuk memulai berumah tangga. Tidak hanya itu saja, kedua pengantin juga
berkeliling dengan membawa tegen-tegenan
dan suwun-suwunan (beban) yang
berarti bahwa kedua pasangan berjanji untuk sanggup memikul beban hidup
bersama. Bila semua pasangan suami dan istri dapat memahami isi upacara
tersebut, maka tidak akan lagi ada perselingkuhan.
Banyak media
massa yang memberitakan kisah perselingkuhan baik itu yang dilakukan oleh para
tokoh politik, bintang film, maupun milyuner. Sebagai contoh, Bill Clinton dan
Gerry Hart pernah terlibat skandal perselingkuhan saat mereka masih sama-sama
sebagai kandidat Presiden Amerika Serikat. Tidak berbeda dengan para kandidat
Presiden Amerika Serikat, Perdana Menteri Jepang Sosuke Uno juga gagal dalam
pemilihan Partai LDP dikarenakan ia diketahui memiliki seorang Geisha. Begitu
kerasnya sikap masyarakat dalam menanggapi suatu perselingkuhan hingga para
tokoh politik gagal dalam pemilihan.
Hasil The Janus Report mengenai tingkah laku
seksual bahwa lebih dari sepertiga pria dan seperempat wanita mengaku pernah
melakukan pengalaman seksual minimal satu kali diluar pernikahan. Persentase
yang lebih rendah didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh National Opinion Research Centre yakni
25% pria dan 17% wanita pernah melakukan pengalaman seksual diluar pernikahan.
Seribu
orang kependetaan Protestan yang disurvei oleh majalah Leadership tahun 1998 menemukan bahwa 12% mengalami hubungan
seksual diluar pernikahan dan 23% pernah melakukan tindakan seksual yang tidak
pantas dengan seseorang yang bukan pasangannya.
Mengapa perselingkuhan masih terjadi? Alasan
tidak memiliki anak dan pasangannya mengalami disfungsi seksualitas sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis si suami/istri adalah beberapa alasan
yang banyak diutarakan sebagai pemicu terjadinya suatu perselingkuhan.
Bagaimana
persepsi seseorang terhadap perselingkuhan sehingga dapat dipandang sebagai
suatu pernyataan sikap atau bahkan perilaku, dan sejauh mana orang tersebut
mendukung atau menentang perilaku tersebut. Banyak faktor yang memengaruhi
seseorang dalam melihat suatu permasalahan. Dalam hal ini, beberapa faktor yang
dididuga dapat berpengaruh adalah tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat
pendapatan, dan faktor disfungsi seksual.
Perselingkuhan
terjadi diseluruh lapisan masyarakat dan sudah berlangsung sejak lama. Hal ini
membuat masalah perselingkuhan ini menarik untuk diteliti. Dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana persepsi wanita terhadap
perselingkuhan dan faktor-faktor dominan apa yang memengaruhi terjadinya suatu
perselingkuhan serta bagaimana persepsi mereka mengenai tindak lanjut mengatasi
perselingkuhan tersebut.
Metode yang
diterapkan dalam penelitian ini yakni metode survei dan wawancara mendalam.
Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan informasi dari 50 responden yang
semuanya berjenis kelamin perempuan dan berada pada kelompok usia 18 – 50
tahun. Berdasarkan sampel yang diambil yaitu 50 orang dianggap sudah cukup
untuk menggambarkan keadaan populasi yang diteliti. Penelitian ditujukan pada
individu walapun penerapannya mencakup rumah tangga sebagai suatu keseluruhan.
Kota
Denpasar dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa masyarakat
di perkotaan lebih heterogen dan wanita yang berada di perkotaan lebih banyak
menyerap informasi dari media massa serta pola hidupnya yang lebih modern jika
dibandingkan dengan wanita yan berada di pedesaan.
II.
Pembahasan
Hal apa
sajakah yang menyebabkan suatu perselingkuhan terjadi? Sebagian besar para
responden menjawab bahwa perselingkuhan terjadi karena adanya faktor-faktor
yang berasal dari luar rumah tangga seperti godaan dari wanita lain dan ingin
mencari selingan (34%), faktor lain yang menjadi jawaban responden adalah
kurang adanya komunikasi dalam rumah tangga (22%) dan 20% responden menjawab
perselingkuhan terjadi karena kurangnya perhatian dari pasangan terutama untuk
kebutuhan batin.
1.
Persepsi Terhadap Perselingkuhan
Perselingkuhan
dalam perkawinan pasti merusak suatu perkawinan dan tidak sedikit yang
berakibat pada perceraian. Dalam bahasa Inggris, adultery diartikan sebagai Voluntary
sexual intercourse of married person with one of the opposite sex other than
his or he spouse (The concise Oxford Dictionary of Current English, 1964).
Kenyataannya, penampilan fisik
bukanlah faktor utama seseorang untuk dipilih sebagai pasangan selingkuh. Dalam
banyak kasus ditemukan bahwa seseorang dipilih sebagai pasangan selingkuh lebih
dikarenakan pemenuhan kebutuhan dari pasangan selingkuhnya, yang tentu saja
tidak bisa didapatkan dalam perkawinan. Hal ini membuktikan bahwa kurangnya
pemenuhan kebutuhan emosional menyebabkan seseorang mencari pemenuhannya di
luar perkawinan.
2.
Perselingkuhan:
Konsekuensi dan Faktor-faktor Penyebab
Suatu
perselingkuhan pasti menimbulkan hubungan yang buruk bagi perkawinan, Tidak
hanya keluarga, tapi juga dapat berimbas tehadap karir dan pandangan masyarakat
sekitar. Walaupun ketika suatu perselingkuhan tidak terungkap, namun tetap saja
akan berakibat pada kehidupan rumah tangga. Sebuah rumah tangga yang terjadi
perselingkuhan didalamnya akan kehilangan keintiman dan keharmonisan, dan bisa
dipastikan akan berpengaruh pada psikologis anak. Seperti yang dikatakan oleh
Frank Pittman “The infidelity is not in
sex, but in the secrecy. It isn’t whom you lie with. It’s whom you lie to”.
K.
Anderson dalam Adultery, Probe Ministries
International mengungkapkan bahwa 65% perselingkuhan berakibat pada
perceraian dan hanya 35% diantaranya yang dapat rujuk kembali.
Para responden ketika ditanya
mengenai persepsi mereka terhadap perselingkuhan menjawab bahwa perselingkuhan
adalah tindakan selingkuh yang dilakukan seseorang dengan lawan jenis yang secara
hukum bukan pasangan sah mereka (82%), sedangkan sebanyak 14% responden lainnya
beranggapan bahwa perselingkuhan adalah merupakan suatu tindakan yang tidak
terpuji.
Sebagian besar
responden setuju bahwa perselingkuhan memiliki konsekuensi moral bagi orang
yang melakukannya, seperti perasaan bersalah dan berdosa kepada Tuhan dan
keluarganya. Hanya 4% responden yang menjawab perselingkuhan adalah suatu
perbuatan yang indah karena perselingkuhan dianggap dapat menyegarkan
perkawinan yang sudah tumpul. Namun seluruh responden setuju bahwa
perselingkuhan mengakibatkan hilangnya ketentraman dalam rumah tangga. Para
responden beranggapan bahwa perselingkuhan mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam rumah tangga (74%), berkurangnya rasa percaya dan hormat anggota keluarga
(12%), kurangnya perhatian terhadap keluarga (8%), timbul perasaan curiga
terhadap pasangan (4%), dan mengganggu perkembangan jiwa anak (2%).
Ada
banyak faktor yang membuat seseorang melalukan perselingkuhan. Kurang atau
tidak adanya ketentraman dalam rumah tangga, disfungsi seksual, ambisi yang
tinggi terhadap karir, dan faktor finansial diduga menjadi penyebab terjadinya
perselingkuhan. Faktor finansial diduga ikut menjadi faktor penyebab
perselingkuhan karena saat ini kebutuhan rumah tangga sangat banyak dan
beraneka ragam. Pendapatan yang tidak dapat mengimbagi kebutuhan yang tinggi
dalam rumah tangga memicu terjadinya perselingkuhan. Hal ini sesuai dengan studi
yang pernah dilakukan oleh Harley, Jr. dan F. Williard bahwa dengan
meningkatnya pendapatan, meningkat pula adanya kemungkinan selingkuh.
Dr.
Williard Harry dalam bukunya His Needs,
Her Needs: Building an affair – Proof Marriage mengungkapkan bahwa perselingkuhan
terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan antara suami dan istri dalam sebuah
rumah tangga. Kebutuhan istri meliputi kasih sayang, percakapan, ketulusan dan
keterbukaan, komitmen finansial dan komitmen keluarga. Kebutuhan istri tersebut
berbeda dengan kebutuhan suami yakni meliputi kebutuhan seksual, kebersamaan
dan rekreasi, memiliki pasangan yang menarik, dukungan dalam rumah tangga, dan
kekaguman.
3.
Perceraian
Apakah
seseorang akan ikut berselingkuh bila pasangannya melakukan perselingkuhan? Ternyata
78% responden menjawab untuk tidak ikut berselingkuh , 52% setuju untuk
memaafkan pasangan, dan 62% tidak setuju adanya perceraian.
Tabel: Persepsi Responden Mengenai Tindak Lanjut
Menanggapi Perselingkuhan
No.
|
Tindak
Lanjut
|
Persepsi
|
Jumlah
|
Prosentase
|
1.
|
Ikut berselingkuh
|
Setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
|
3
39
8
|
6
78
16
|
Total
|
50
|
100
|
||
2.
|
Memaafkan Pasangan
|
Setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
|
26
18
6
|
52
36
12
|
Total
|
50
|
100
|
||
3.
|
Bercerai
|
Setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
|
9
31
10
|
18
62
20
|
Total
|
50
|
100
|
Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Challenges Society mengenai dampak perceraian,
ditemukan bahwa 25 tahun setelah orang tua mereka bercerai, seorang anak masih
merasakan adanya masalah emosional. Seiring dengan berjalannya waktu, dampak
dari perceraian ini semakin meningkat. Molly Dugnan dalam artikelnya di surat
kabar harian Universitas Western Ontario The
Gazette (2000) juga mengemukakan bahwa dampak dari perceraian dapat
meninggalkan begitu banyak reruntuhan.
Terdapat
hubungan yang erat antara anak-anak korban perceraian dengan tingkah laku yang
tidak normal, kehamilan dini, dan kegagalan perkawinan di masa depan. Menurut
Horald Minden seorang pensiunan profesor York University bahwa remaja perempuan
yang orang tuanya bercerai, hamil lebih cepat dibanding dengan anak-anak lain
yang berasal dari keluarga yang utuh. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga
yang berantakan berpotensi tiga kali lebih banyak untuk gagal di sekolah,
mengalami masalah emosional dan bunuh diri, serta kemungkinan mengalami
kekerasan. Hal ini dikarenakan anak-anak tersebut tidak belajar tentang harmoni
dan apa yang dipertaruhkan untuk kebahagiaan.
B.D.
Schmitt, M.D. (1999) mengungkapkan dampak perceraian terhadap anak berbeda-beda
menurut usia, anak usia pra sekolah 3 - 6 tahun, anak usia sekolah 6 - 9 tahun,
dan anak usia sekolah 9 – 12 tahun.
Anak usia
pra sekolah memiliki ego yang tinggi dan kaku mengenai hal benar dan salah.
Mereka biasanya menyalahkan diri sendiri atas kelakuan yang telah mereka lakukan.
Anak-anak pada usia ini cenderung mengingkari kenyataan yang ada dan berharap
orang tuanya bersatu kembali. Secara umum, anak-anak pada usia ini menjadi
takut berpisah dari suatu hal.
Berbeda
dengan anak usia pra sekolah, anak usia sekolah 6 – 9 tahun sepenuhnya sadar
tentang kenyataan yang terjadi. Mereka cenderung menyalahkan salah satu dari
orang tua mereka sebagai penyebab perpisahan.
Sedangkan
pada anak usia sekolah 9 – 12 tahun, mereka biasanya menunjukkan kemarahan
sebagai reaksi atas perceraian orang tuanya. Anak-anak pada usia ini mungkin
menyalahkan kelakuan salah satu atau kedua orang tuanya. Mereka umumnya merasa
malu atas apa yang terjadi pada keluarganya dan tidak suka lebih menonjol
diantara teman-temannya. Mereka cenderung memiliki pemikiran yang praktis
mengenai kehidupan keluarga, khawatir mengenai keuangan keluarga dan apakah
mereka mendapatkan aliran uang dari orang tua mereka.
Studi
yang dilakukan oleh Judith S. Wallerstein dan Loan B. Kelly (1980) menyatakan
bahwa 90% anak-anak yang kedua orang tuanya bercerai mengalami gangguan
emosional saat perceraian terjadi, rasa sedih yang mendalam dan perasaan
khawatir. Hampir setengah dari 50% anak-anak yang merasa ditolak dan terbuang
tidak pernah dikunjungi oleh ayahnya selama tiga tahun setelah perceraian
terjadi. 37% anak-anak merasa tidak lebih bahagia setelah 5 tahun orang tuanya
bercerai daripada anak-anak yang baru 18 bulan orang tuanya bercerai. Dengan
kata lain, waktu tidak dapat menyembuhkan luka anak-anak korban perceraian ini.
Beberapa hal inilah yang kadang menjadi alasan kuat bagi orang tua untuk
menghindari perceraian dan mempertahankan pernikahan demi masa depan anak-anak
mereka.
III.
Kesimpulan
Penelitian
menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi karena godaan dari wanita lain dan
ingin mencari selingan (34%), kurang komunikasi dalam rumah tangga (22%),
kurang perhatian dari pasangan terutama untuk kebutuhan batin (20%), faktor
ekonomi (16%), dan pasangan terlalu mendominasi (8%)
Seluruh
responden setuju bahwa perselingkuhan mengakibatkan hilangnya ketentraman dalam
rumah tangga. Hal yang mengakibatkan hilangnya ketentraman dalam rumah tangga
menurut responden adalah karena perselingkuhan mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam rumah tangga (74%), berkurangnya rasa percaya dan hormat anggota keluarga
(12%), kurangnya perhatian terhadap keluarga (8%), timbul perasaan curiga
terhadap pasangan (4%), dan mengganggu perkembangan jiwa anak (2%).
Mengenai
bagaimana tindak lanjut menanggapi perselingkuhan, 78% responden lebih memilih
untuk tidak ikut berselingkuh, 52% setuju untuk memaafkan pasangan, dan 62%
tidak setuju adanya perceraian. Banyak responden memilih untuk memperbaiki
hubungan rumah tangga daripada harus bercerai dikarenakan dampak perceraian
sifatnya buruk bagi anak.
Diketahui
bahwa perceraian sangat berdampak terhadap perkembangan jiwa dan emosional
anak. Anak-anak dan remaja yangmemiliki tingkah laku yang tidak normal,
mengalami kehamilan dini, dan kegagalan perkawinan di masa depan sebagian besar
dari keluarga yang orang tuanya bercerai. Dampak perceraian tersebut dapat
berbeda menurut usia anak. Anak yang masih berusia antara 3-6 tahun biasanya
menyalahkan diri sendiri atas kelakuan yang telah mereka lakukan dan cenderung
mengingkari kenyataan yang ada dan. Anak yang berusia antara 6-9 tahun
cenderung mempersalahkan salah satu dari orang tua sebagai penyebab perceraian.
Anak usia 9-12 tahun mengungkapkan kesedihan mereka dengan kemarahan dan
menjadi berpikir praktis mengenai hidup. Mereka umumnya merasa malu atas
perceraian kedua orang tuanya dan menjadi khawatir dengan keuangan keluarga dan
apakah setelah terjadi perceraian, mereka masih mendapatkan uang saku dari
orang tua mereka.
Waktu
tidak dapat menyembuhkan luka anak-anak korban perceraian ini. Mereka merasa
tidak lebih bahagia meskipun orang tuanya sudah bercerai bertahun-tahun
lamanya. Bagaimanapun perkembangan emosional anak secara langsung berhubungan
dengan perhatian, kehangatan dan hubungan dengan kedua orang tua secara
berkesinambungan. Beberapa hal inilah
yang kadang menjadi alasan kuat bagi orang tua untuk menghindari perceraian dan
mempertahankan pernikahan demi masa depan anak-anak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar